pengembangan baik positif ataupun
negatif, Giddens (1991: 201) melihat “bayangan ancaman ketidak berrnaknaan
personal” yang mendasar. Seluruh jenis hal-hal yang berharga telah dikucilkan
dari kehidupan harian; mereka ditindas. Tetapi, secara dialektis, meningkatnya
refleksivitas-diri menggiring kepada meningkatnya kemungkinan kembalinya apa
yang telah ditindas tersebut. Giddens (1991: 208) melihat kita bergerak ke
dalam sebuah dunia di mana “pertanyaan-pertanyaan moral/eksistensial mendorong
dirinya sendiri ke panggung utama pada tingkatari kolektif danidalam kehidupan
sehari-hari.” Dunia di luar modernitas, bagi Giddens, adalah sebuah dunia
berkarakter “remoralisasi.” Isu-isu utama moral dan eksistensial yang telah dikucilkan
tersebut akan datang untuk menguasai panggung utama dalam masnarakat yang
Giddens lihat telah dibayangkan, dan diantisipasi, dalam refleksivitas-diri
abad modern akhir.
Giddens (1992) kebanyakan mengambil terra-tema ini dalam The
Tiansfornurtion of Intimacy: Sexuality, Love and Eroticisnt in Modern
Societies. Di sini, Giddens memusatkan perhati.an pada transformasi keintiman
terus-menerus yang menunjukkan gerakan pada konsep penting lain dalam pemikiran
Giddens mengenai dunia modern hubungan yang nntrni, atau “sebuah situasi di
mana hubungan sosial dimasuki demi kepentingannya sendiri, demi apa yang dapat
diperoleh oleh setiap orang dari pergaulan berkelanjutan dengan orang lain; dan
yang dilanjutkan hanya sejauh itu dipahami membawa kepuasan yang cukup bagi
masing-masing pihak untuk tetap tinggal di dalamnya” (Giddens, 1992: 58).
Dalam kasus keintiman, hubungan yang murni dikarakterkan dengan komunikasi
emosi dengan diri dan orang lain dalam konteks kesamaan seksual dan emosi.
Demokratisasi hubungan intim dapat menggiring tidak hanya pada demokratisasi
hubungan-hubungan interpersonal secara umum namun juga aturan institusi-makro.
Sifat dasar hubungan-hubungan intim yang berubah-ubah, di mana di dalamnya
perempuan-(“revolusioner modernitas yang emositnal” [Giddens, 1992: 1301)
telah mengambil alih pimpinan dan pria telah “terlambat,” memiliki implikasi
revolusioner terhadap masyarakat secara menyeluruh.
Dalam dunia modern, keintiman dan seksualitas (dan seperti yang telah
kita baca di atas, dan banyak hal lainnnya) telah dikucilkan. Tetapi, ketika
pengucilan dibebaskan atas berbagai hal dalam perbandingan dengan keintiman
dalam masyarakat-masyarakat tradisional, is juga sebuah bentuk penindasan.
Usaha refleksif untuk menciptakan hubungan-hubungan intim yang lebih murni
harus dilaksanakan dalam konteks yang terpisah dari persoalan-persoalan moral
dan etika yang lebih luas. Bagaimanapun pengaturan modern ini Nadir di bawah
tekanan di mana orang-orang, khususnya perempuan, berusaha untuk secara
refleksif membangun diri mereka sendiri dan orang lain. Jadi, Giddens
berargumentasi tidak unt-uk pembebasan seksual atau pluralisme saja namun lebih
untuk perubahan etika dan moral yang lebih luas, sebuah perubahan yang is lihat
sudah berjaian baik di bawah hubungan-hubungan intim:
Kita tidak perlu menunggu sebuah revolusi sosio-politis untuk program-program
emansipasi yang Lebih jauh, revolusi semacam itu tidak banyak menolong juga.
Proses-proses revolusioner telah berjalan dengan baik di bawah infrastruktur
kehidupan sosial. Transformasi keintiman menekan baik perubahan psikis maupun
perubahan sosial dan perubahan semacam itu, berlaku “dari atas ke bawah,”
secara potensial dapat memiliki cabang melalui hal lain, institusi yang lebih
umum.
Emansipasi seksual, saya pikir, dapat menjadi media bagi reorganisasi
emosional yang lebih luas alas kehidupan sosial.
(Giddens, 1992: 182)
Jadi, Giddens tidak hanya menitikberatkan perhatian secara substantif
pada modernitas, namun is juga melihat kemungkinan masa depan yang lebih cerah
bagi dunia modern. Narasi besar semacam ini, dengan janjinya atas akhir yang
bahagia, adalah, sebagaimana kita melihatnya, berbeda sekali dengan sudut
pandang teoretisi sosial postmodern.
ULRICH BECK: MODERNITAS DAN RISIKO
Kita telah membahas persoalan risiko dalam karya Giddens dalam
modernitas, Sebagaimana Giddens .mengatakan,
Modernitas adalah kultur risiko. Saya tidak bermaksud bahwa kehidupan
sosial membawa lebih banyak risiko daripada yang seharusnya; bagi kebanyakan
orang bukan itu kasusnya. Agaknya, konsep risiko menjadi fundamental baik pada
cara aktor-aktor maupun pada spesialis-spesialis teknis yang mengatur dunia
sosial .Modernitas bmengurangi risiko keseluruhan dari wilayah-wilavah dan
cara-cara hidup tertentu, dan pada saat yang sama memperkenalkan ukuranukuran
risiko baru secara luas atau secara lengkap yang pada masamasa sebelumnya
tidak diketahui.
(Giddens, 1991: 3-4)
Jadi, Giddens (1991: 28) menggambarkan “seakurat mungkin” tesis dari karya
yang akan didiskusikan dalam bagian ini, karya Ulrich Beck Risk Society: Toward a New Modernity.
Dalam istilah perhatian kita pada bagian ini, sub-judul dari karya Beck
sangat panting karena ia mengindikasikan bahwa dia, sebagaimana Giddens,
menolak tudingan bahwa kita telah berpindah ke dalam abad postmodern. Bahkan,
dalam pandangan Beck kita melanjutkan untuk tetap berada dalam dunia modern,
meskipun sebuah bentuk modernitas baru. Sebelumnya, tahapan “klasik” modernitas
diasosiasikan dengan masyarakat industri, sementara kemunculan modernitas yang
baru diasosiasikan dengan masyarakat risiko. Meskipun kita belum hidup dalam masyarakat
risiko, kita tidak lagi hidup dalam sebuah masyarakat industri; artinya, dunia
kontemporer memiliki elenen keduanya. Pada kenyataannya, masyarakat risiko dapat
dilihat sebagai sebuah tipe masyarakat industri sejak kebanyakan risiko-risiko
tersebut dapat dilacak pada masyarakat industri. Beck menawarkan ikhtisar atas
perspektifnya tersebut:
Di saat modernisasi membubarkan struktur masyarakat nodal di abad
kesembilan betas don menghasilkan masyarakat industri, modernisasi hari ini
sedang membubarkart masyarakat industri dan modernitas fang lain sedang
datang.... tesis dari buku ini adalah; kita menyaksikan bukan akhir namun awal
dari modemitas maksudnya, sebuah modernitas melewati desain industri klasikova.
(Beck, 1992: 10)
Apa, kemudian, modernitas baru ini? Dan apa risiko yang dibawanya bagi masyarakat?
Beck melabeli yang baru, atau tepatnya yang baru muncul, sebagai bentuk
modernitas refleksi Sebuah proses individualisasi yang terdapat di Barat.
Artinya, kebebasan Para agen atas ketidakleluasaan struktural meningkat dan,
walhasil, dengan lebih baik dapat menciptakan bukan saja diri mereka sendiri
namun juga masyarakat-masyarakat di mana mereka hidup. Sebagai contohnya,
alih-alih ditentukan oleh situasi-situasi kelas mereka, malahan orang
menjalankan kurang lebih dengan cara mereka sendiri. Dibiarkan dengan cara
mereka sendiri, orang dipaksa untuk lebih refleksif. Beck (1992: 97) membuat
kasus tentang pentingnya refleksivitas dalam contoh hubungan-hubungan sosial
dalam dunia semacam itu: “Bentuk baru hubungan-hubungan sosial dan
jaringan-jaringan kerja sosial sekarang harus dipilih secara individu;
ikatan-ikatan sosial, juga, sedang mengalami refleksif, sehingga mereka harus
dimapankan, dipelihara, dan secara konstan diperbaharui oleh individu-individu.”
Beck melihat adanya sebuah retakan dalam modernitas dan sebuah transisi
dari masyarakat industri klasik menuju masyarakat risiko, meskipun berbeda
dari pendahulunya ia melanjutkan untuk memiliki kebanyakan karakteristik karakteristik
masyarakat industri. Isu sentral dalam modernitas klasik adalah kesejahteraan
dan bagaimana kesejahteraan itu dapat (didistribusikan secara lebih adil. Pada
tingkat modernitas yang lebih maju isu sentralnya adalah risiko dan bagaimana
risiko tersebut dapat dicegah, diminimalkan, dipantau, atau diatur. Yang ideal
dalam modernitas klasik adalah persamaan, sedangkan dalam modernitas lanjut
adalah keamanan. Dalam modernitas klasik orang mencapai solidaritas dalam
pencarian tujuan positif atas persamaan, namun dalam modernitas-lanjut usaha
untuk mencapai solidaritas tersebut adalah dalam pencarian yang lebih luas akan
tujuan negatif dan defensif untuk menjauhkan diri dari bahaya. Tentang hal ini,
Bauman (1995: 279) mengatakan, “Kita tidaklah bergerak ‘maju’ sejauh itu, dalam
arti membereskan kesemrawutan clan mencari jalan keluar dari malapetaka yang
telah terjadi sebagai akibat dari tindakan-tindakan kita sendiri kemarin.”
Risikonya, dalam tingkatan yang lebih besar, ditimbulkan oleh sumber-sumber
kesejahteraan dalam masyarakat modern. Khususnya, industri dan efek-efek
sampingnya yang menimbulkan rentangan bahaya yang lebar, bahkan mematikan,
konsekuensi-konsekuensi bagi masyarakat dan, sebagai sebuah hasil dari
globalisasi (Featherstone, 1990; Robertson, 1992), dunia. Dengan menggunakan
konsep-konsep waktu dan ruang, Beck menunjukkan bahwa risiko-risiko modem ini
tidak terbatas pada ruang waktu (sebuah kecelakaan riuklir di sebuah geografi
lokal dapat mempengaruhi banyak bangsa lain) atau waktu. (sebuah kecelakaan
nuklir dapat membawa efek-efek genetis yang dapat mempengaruhi
generasi-generasi masa depan).
Jika kelas sosial menjadi sentral dalam masyarakat industri, dan risiko
menjadi sentral dalam masyarakat risiko, maka risiko dan kelas tidak
berhubungan satu lama lain. Sebagaimana dinyatakan oleh Beck,
Sejarah dari distribusi risiko menuniukkan bahwa, sebagaimana kesejahteraan,
risiko-risiko melekat pa ca pola kelas, hanya secara kebalikannya;
kesejahteraan terkumpul .ii alas, risiko-risiko di bawah. Pada tingkatan
seperti itu, risiko-riiii,e tampaknya memperkuat, bukan meniadakan, masyarakat
kelas. Kemukinan menarik sebuah kumpulan risiko-risiko yang tidak
menguntungkan. sebagai kebalikannya, kesejahteraan (dalam pemasukan, ke’auasaan,
ataupun pendidikan) dapat mein bell keamanan dan kebehasan dari risiko.
(Beck, 1992: 35)
Apa yang benar bagi kelas-kelas sosial benar juga bagi bangsa-bangsa.
Artinya, pada tingkatan rang mungkin, risiko-risiko terpusat pada bangsa-bangsa
miskin, sementara bangsa-bangsa kava mampu menjauhkan risiko-risiko itu sejauh
mungkin. Lebih jauh, bangsa-bangsa kaya mendapat keuntungan dari risikorisiko
yang mereka ciptakan, sebagai contoh, memproduksi dan menjual
teknologi-teknologi yang membantu mencegah risikorisiko terjadi atau berurusan
dengan efek-efek yang merugikan saat hal tersebut terjadi.
Tetapi, tidak saja kesejahteraan individu ataupun bangsa-bangsa yang
memproduksi risiko-risiko aman darinya. Dalam konteks ini, Beck (1992: 37)
membicarakan apa yang ia sebut sebagai “efek bumerang,” dalam cara bagaimana
efek-efek samping risiko “menyerang kembali bahkan ketika sedang dibuat.
Agen-agen modernisasi sendiri dengan tegas terperangkap dalam pusaran bahava
yang mereka lepaskan dan menarik keuntungan atasnya.”
Di saat modernisasi lanjut mere roduksi risiko-risiko, ia juga
memproduksi refleksivitas yang memungkinkannya untuk mempertanyakan diri dan
risiko-risiko Yang dibuatnya. Pada kenyataannya, adalah lebih sering masyarakat
sendiri, para korban dari risiko-risiko itu, yang mulai memikirkan
risiko-risiko tersebut. Mereka mulai mengamati dan mengumpulkan data dari
risiko-risiko dan konsekuensi-konsekuensi mereka. Mereka menjadi ahli-ahli yang
mulai mempertanyakan modernitas Lanjut dan risiko-risikonya. Mereka melakukan
ini, sebagian, karena mereka tidak mampu lebih lama lagi mempercayai ilmuwanilmuwan
untuk rnelakukannya bagi mereka. Sesungguhnya, Beck (1992: 70) sangat keras
pada ilmuwan-ilmuwan atas peran mereka dalam penciptaan dan pemeliharaan masyarakat
risiko: “sains telah men jadi pelindung kontaminasi global terhadap mm7usia dan
alam. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, tidaklah sesuatu yang berlebihan
untuk mengatakan bahwa dalam cara mereka berurusan dengan risiko-risiko dalam
beberapa wilayah, sains telah ntenghambur-hantburkannya hingga perhatian yang lebih
pahit akan reputasi sejarah mereka denti rasionalitas.”
Jika dalam masyarakat industri klasik alam dan masyarakat terpisah, di
dalam masyarakat industri yang lebih maju alam dan masyarakat terkait secara
mendalam. Artinya, perubahan-perubahan dalam masyarakat seringkali
mempengaruhi lingkungan alami, dan perubahan-perubahan tersebut, akibatnya,
mempengaruhi masyarakat. Jadi, menurut Beck (1992: 80), hari ini “alam adalah
masyarakat dan masyarakat adalah juga “alam Ini juga berarti bahwa alam telah
dipolitisasi. Ini akibat ilmuwan-ilmuwan alam, seperti ilmuwan-ilmuwan sosial,
telah mempolitisasi karya mereka.
Domain politik tradisional, pemerintah, kehilangan kekuasaan sejak
risiko-risiko utama muncul dari apa yang disebut Beck “sub-politik,” contohnya,
perusahaan-perusahaan besar, laboratorium ilmiah, dan semacamnya. Dalam sistem
sub-politik “struktur masyarakat baru sedang diimplementasikan berkenaan dengan
tujuan-tujuan akhir kemajuan dalam pengetahuan, di luar sistem parlementer,
bukan sebagai oposisi atasnya, namun hanya tidak menghiraukannya” (Beck, 1992:
223). Bagian ini yang ia sebut sebagai “politik-politik yang tidak terikat,” di
mana politik tidak lagi diberikan kepada pemerintahan pusat namun secara
meningkat menjadi wewenang beberapa variasi sub-kelompok dan juga individu.
Sub-kelompok clan individu ini dapat menjadi lebih refleksif dan kritis-diri
daripada pemerintah pusat, dan mereka memiliki kemampuan untuk bercermin pada,
atau dengan lebih baik berurusan dengan, serangkaian risiko yang hubungkan-dengan
modernitas lanjut. Jadi, secara dialektis, modernitas lanjut telah menghasilkan
risiko-risiko yang tidak dapat diperkirakan dan juga dengan
kapasitas-kapasitas refleksif yang tidak dapat diperkirakan untuk menghadapi
risiko-risiko tersebut.
JURGEN HABERMAS: MODERNITAS SEBAGAI “PROYEK
TAK TERSELESAI KAN”
Jurgen Habermas bukan sekedar teoretisi sosial unggul hari ini yang dapat
diperdebatkan, namun dia juga pembela modernitas dan rasionalitas yang utama
dalam menghadapi serangan atas ide-ide modernitas oleh kaum postmodernis (dan
lainnya). Menurut Seidman,
Berlawanan dengan kebanyakan kaum intelektual kontemporer yang telah
memilih untuk anti-atau berposisi sebagai postmodernis, Habermas melihat
tatanan institusi dalam struktur modemitas atas rasionalitas. Mengingat banyak
kaum intelektual menjadi sinis pada potensi emansipasi modernitas....Habermas
terus menerus memaksa potensi utopia modernitas. Dalam sebuah konteks sosial di
mana keyakinan dalam proyek pencerahan masyarakat baik yang didukung oleh
nalar sepertinya sebuah harapan yang memudar maupun penolakan berhala, Habermas
tetaplah salah satu pembelanya yang terkuat.
(Seidman, 1989: 2)
Habermas (1987) melihat modernitas sebagai sebuah “proyek yang belum
selesai,” yang menyiratkan bahwa ada sesuatu yang harus lebih dikerjakan dalam
dunia modern bahkan sebelum kita mulai berpikir mengenai kemungkinan sebuah
dunia postmodern.
Habermas memandang modernitas sedang dalam perselisihan dengan dirinya
sendiri. Dengan hal ini dia memahami bahwa rasionalitas (secara lebih luas
rasionalitas formal) yang memberi karakter sistem-sistem sosial berbeda dari,
dan dalam konflik dengan, rasionalitas yang memberi karakter dunia-kehidupan.}
Sistem-sistem sosial telah tumbuh semakin rumit, dibedakan, dipadukan, dan
dikarakterkan dengan nalar instrumental. Dunia-kehidupan, juga, telah
menyaksikan perbedaan dan penyingkatan yang meningkat (tapi atas dasar-dasar
pengetahuan dan lingkungan nilai kebenaran, kebaikan, dan kecantikan),
sekularisasi, dan institusionalisasi atas norma .norma refleksivitas dan kritisisme (Seidman, 1989: 24): Masyarakat
yang benarbenar rasional akan menjadi sisfenr dan dunia-kehidupan suatu ketika
diizinkan dart untuk merasionalisasi dalam cara mereka sendiri, mengikuti
logika mereka. Ini akan menciptakan suatu masyarakat dengan materi yang
berlimpah dan kontrol atas lingkungannya sebagai buah dari sistem-sistem
rasional dan satu kebenaran, kebaikan, dan kecantikan sepanjang dunia-kehidupan
rasional. Namun, dalam dunia modern, sistem mendominasi dan menjajah
dunia-kehidupan. Hasilnya adalah meskipun kita mungkin sedang menikmati hasil
dari rasionalisasi sistem, namun kita dicabut dari kekayaan kehidupan yang
berasal dari dunia-kehidupan yang dibiarkan berjalan. Kebanyakan gerakangerakan
sosial (“hijau,” misalnya) yang muncul di “perbatasan” antara dunia-kehidupan
dan sistem dalam beberapa dekade terakhir dapat dilacak pada periawanan terhadap
kolonisasi dan pemiskinan dunia-kehidupan. Dalam menganalisis bagaimana sistem
menjajah dunia kehidupan, Habermas melihat dirinya sejajar dengan kebanyakan
sejarah pemikiran sosial modern:
Untaian utama teori sosial-dari Marx melalui Spencer dan Durkheim ke
Simmel, Weber dan Lukacsharus dipahami sebagai jawaban atas pintu masuk dari
batasan lingkungan-sistem ke dalam masyarakat itu sendiri [dunia-kehidupan
Habermas]....yang dipahami sebagai tanda khns modernitas.
(Habermas, 1991: 255-256; cetak miring tambahan)
Dengan kata lain, “tanda khas rodernitas” bagi Habermas, dan juga bagi
kebanyakan teori sosial klasik, telah menjadi, dalam istilah Habermas,
tanggapan atas masalah penjajahan terhadap dunia-kehidupan oleh cistern.
. Apa, kemudian, Habermas menyelesaikan proyek modernitas? Sepertinya
jelas bahwa ini akan menjadi masyarakat yang sangat rasional di mana
rasionalitas sistem dan dunia-kehidupan dimungkinkan mengekspresikan diri
mereka sendiri secara utuh tanpa yang satu melebihi atau menghancurkan yang
lain. Kita akhir-akhir ini menderita pemiskinan dunia-kehidupan, dan masalah
tersebut harus ditanggulangi. Tetapi, jawabannya tidak terdapat dalam
penghancuran sistem-sistem (khususnya sistemsistem ekonomi dan administratif)
karena merekalah yang menyediakan prasyarat material yang dibutuhkan untuk
memungkinkan rasionalisasi dunia-kehidupan.
Salah satu isu yang berkenaan dengan Habermas (1987) adalah meningkatnya
persoalan yang dihadapi oleh negara sejahtera modem, birokratis sosial. Kebanyakan
mereka yang diasosiasikan dengan negara semacam itu menyadari masalahmasalahnya,
tetapi mereka menangani masalah hanya pada tingkat sistem dengan, contohnya,
menambahkan sebuah subsistem baru untuk menghadapi masalah-masalah tersebut.
Tetapi, Habermas sangsi akan Masalah-masalah tersebut dapat dipecahkan dengan
cara demikian. Tepatnya, masalah itu harus diselesaikan dalam hubungan antara
sistem dengan dunia-kehidupan. Pertama, “aral-aral yang menghalang” harus
diletakkan di tempatnya untuk mengurangi dampak sistem dalam dunia kehidupan.
Kedua, “sensor-sensor” harus dibangun untuk meningkatkan dampak
dunia-kehidupan atas sistem. Habermas (1987: 364) menyimpulkan bahwa Masalah-masalah
kontemporer tidak dapat dipecahkan “oleh sistem-sistem yang belajar untuk
berfungsi dengan lebih baik. Tepatnya, dorongan-dorongan dari dunia-kehidupan
harus mampu masuk dalam pengendalian-diri sistem-sistem. fungsional.” Hal ini
membangun langkah-langkah penting menuju penciptaan pengayaan dunia-kehidupan
dan sistem secara bersamaan. Di sinilah gerakan-gerakan sosial memasuki arena
karena merekalah yang mewakili harapan penyatuar sistem dan dunia-kehidupan
sehingga keduanya dapat dirasionalisasi dalam tingkatan tertinggi -yang paling
mungkin.
Dengan objektif, Habermas melihat sedikit harapan di Amerika Serikat, yang
kelihatannya bermaksud membantu rasionalitas sistem dengan mengorbankan
pemiskinan dunia-kehidupan yang terus-menerus. Bagaimanapun, Habermas (1987:
366) benar-benar melihat harapan di Eropa, yang memiliki kemungkinan “menyelesaikan
ide yang membingungkan kemudian kandungan normatif modernitas yang bersemayam
dalam dunia kehidupan yang dirasionalkan dapat dibebaskan hanya oleh
sistem-sistem yang lebih sempurna.” ladi, Eropa memiliki kemungkinan bersatu “dalam
sebuah jalan warisan yang menentukan dari rasionalisme Oksidental” (Habermas,
1987: 366).
Warisan tersebut menjelma hari ini dalam pembatasan-pembatasan pada
rasionalitas sistem agar memungkinkan rasionalitas dunia-kehidupan tumbuh
subur hingga kedua jenis rasionalisasi tersebut dapat hidup berdampingan
sejajar dalam dunia modern. Persekutuan penuh semacam itu antara rasionalitas
sistem dan dunia-kehidupan akan menyelesaikan proyek modernitas. Karena kita
masih jauh dari tujuan tersebut, kita jauh dari akhir modernitas, dibiarkan
sendiri di ambang batas, atau di tengah-tengah, postmodernitas.
Habermas tidak hanya membuat kasus bagi modernitas tetapi juga terhadap
kaum postmodernis. Habermas (1981) menawarkan beberapa kritikan awal terhadap
postmodernitas5 dalam sebuah esai, “Modernitas Melawan Postmodernitas,” yang
cukup dikenal secara luas. Dalam esai tersebut, Habermas (1981: 9) mengangkat
isu mengenai apakah, dalam bayangan kegagalan abad kedua puluh, kita “semestinya
mencoba untuk berharap pada maksud-maksud Pencerahan, yang mungkin suram, atau
semestinya kita mengumumkan keseluruhan proyek modernitas sebagai kasus yang
kalah?” Habermas, tentu saja, tidaklah dalam niatan untuk menyerah dalam
proyek Pencerahan atau, dengan kata lain, menyerah dalam modernitas. Tepatnya,
dia memilih untuk memusatkan perhatian kepada “kesalahan kesalahan” mereka yang
menolak modernitas. Satu dari kesalahan yang paling penting belakangan ini
adalah kemauan mereka untuk menyerah dalam ilmu pengetahuan (dia akan menghubungkan
Ly6tard [lihat Bab 7], di antara sekian banyak kaum postmodern [misainya,
Rorty; lihat Bab 2], dengan cara pandang ini), khususnya ketika dihubungkan
dengan dunia-kehidupan. Pemisahan ilmu pengetahuan dari dunia-kehidupan, dan meninggalkannya
kepada para ahli, jika dilakukan bersamaan dengan penciptaan
lingkungan-lingkungan otonom lainnya, akan,-menghancurkan “keseluruhan proyek
modernitas” (Habermas, 1981: 14). Habermas menolak untuk menyerah pada adanya
kemungkinan pemahaman (ilmiah) rasional atas dunia-kehidupan dan juga pada
kemungkinan rasionalisasi dunia tersebut.
Holub (1991) menawarkan sebuah ikhtisar kritik-kritik Habermas yang
paling penting terhadap kaum postmodernis. Pertama, Habermas percaya bahwa kaum
‘eon Sosiol Postmodern samar, apakah mereka menciptakan teori serius ataupun
sastra (Baudrillard adalah contoh yang bagus di sini). Jika kita menganggap
mereka menghasilkan teori serius, maka karya mereka menjadi tidak dapat
dipahami karena “penolakan mereka untuk mengikatkan diri pada kosakata yang
mapan secara institusional” (Holub, 1991: 158). Pada sisi yang lain, jika kita
menganggap dunia postmodernis sebagai sastra, “maka argumentasiargumentasi
mereka mengorbankan seluruh kekuatan logis” (Holub, 1991: 158). Dalam kedua
kasus itu, hampir menjadi tidak mungkin untuk secara kritis menganalisis karya
kaum postmodernis dengan serius karena mereka selalu dapat menyatakan bahwa
kita tidak memahami kata-kata mereka ataupun ikhtiarikhtiar kesusasteraan
mereka.
Kedua, Habermas merasa bahwa para postmodernis dibuai oleh
sentimen-sentimen normatif, tapi sentimen-sentimen tersebut tersembunyi dari
para pembaca. Jadi, berjalan hanya dengan hal-hal yang dinyatakan oleh kaum
postmodernis, para pembaca sungguh-sungguh tidak bisa memahami apa yang
sesungguhnya dimaksud para postmodernis; kenapa mereka mengkritisi masyarakat
dengan cara seperti itu. Lebih jauh lagi, meskipun mereka menyembunyikan
sentimen-sentimen normatif, kaum postmodernis terang-terangan menolaknya.
Ketiadaan sentimen-sentimen yang nyata semacam itu menghalangi kaum postmodernis
untuk mengembangkan sebuah praksis kesadaran-diri yang bertujuan untuk
mengatasi Masalah-masalah yang mereka temukan di dunia. Sebaliknya,
kenyataannya sentimen-sentimen normatif Habermas (komunikasi bebas dan terbuka)
sangat terang dan dinyatakan dengan jernih yang membuat sumber kritikkritiknya
terhadap masyarakat menjadi jelas, dan mereka meznberk n dasar bagi praksis
politis.
Ketiga, Habermas menuduh postntodernisme, berlawanan dengan premisnya,
karena totalisasi perspektifnya gagal “membedakan fenomena dan praktik-praktik
yang berlangsung dalam masyarakat modern” (Holub, 1991: 159). Contohnya,
pemaham.an bahwa dunia didominasi oleh keku scan dan pengawasan (Foucault menunjukkan
contoh pandangan ini) tidak cukup mempunyai jaringan halus untuk
memperhitungkan analisis penuh makna atas sumber- sumber nyata penindasan di
dunia modern.
Terakhir, kaum postmodernis dituduh mengabaikan apa yang Habermas temukan
sebagai hal yang sangat sentral kehidupan sehari-hari dan praktik-praktiknya.
Ini merupakan kekalahan ganda bagi postmodernis. Di satu sisi mereka tertutup
dari sebuah sumber penting pengembangan standar-standar normatif. Bagaimanapun,
potensi rasional yang ada dalam kehidupan sehari-hari adalah sebuah sumber
penting bagi ide-ide Habermas dalam rasionalitas komunikatif. Kedua, dunia
seharihari juga merupakan tujuan puncak kajian dalam ilmu-ilmu sosial karena
ide-ide teoretis bisa berpengaruh pada praksis.6
ZYGMUNT BAUMAN: DAR! MODERN KE POSTMODERN
Zygmunt Bauman adalah analis dunia modern yang cerdas don dia telah
menawarkan wawasan yang tajam mengenai datangnya dunia postmodern. Secara
terkait, dia telah menangani persoalan sosiologi modern dan juga seperti apa
wujud sosiologi postmodern dan sosiologi postmodernitas. Jadi, tergantung pada
aspek-aspek mana seseorang menitikberatkan, dia bisa dianggap baik sebagai
seorang teoretisi sosial modern ataupun postmodern. Contohnya, Modernity and
Ambivalence (Bauman, 1991) dan Modernity and the Holocaust (Bauman, 1989)
adalah karya seorang modernis dalam pokok persoalan dan gaya, sementara Postmodern
Ethics (Bauman. 1993) dan Life in Fragments: Essays in Postmodern Morality
(Bauman, 1995) adalah postmodernis dalam orientasi. Karya-karyanya mengenai
postmodernisme-lah yang akan menjadi perhatian kita di sini.
Legislator clan Interpreter
Pemikiran Bauman (1987) mengenai perbedaan antara sosiologi modern dan
postmodern berakar dalam pemisahannya yang lebih luas antara pelaksanaan dua
jenis karya intelektual legislators dan interpreters. Dua jenis strategi dapat
dianalisis dalam waktu yang terpisah. Ketika melihat yang terakhir, kita dapat
mengatakan bahwa legislator terlibat dalam sebuah jenis karya intelektual
modern dan dengan demikian diasosiasikan dengan sosiologi modern, sementara
interpreter membahas jenis kajian intelektual postmodern dan, walhasil,
dikaitkan pada sosiologi postmodern (Bauman, 1992: 1’’)).
Bauman menghubungkan sejumlat karakteristik dengan legislator:
·
Pernyataan-pernyataan
kewenangan legislator dalam nrenye,lesaikan persoalan ketika terdapat pendapat
yang berbeda-beda.
·
Pernyataan-pernyataan
kewenangan semacam itu menggiring orang untuk memilih pendapat yang, karena adanya
kenya*taan bahwa mereka didukung oleh legislator, dianggap benar dan mengikat.
·
Kewenangan
untuk menjadi penengah (arbitrator) berasal dari dasat t1engetalu an yang lebih
unggul legislator.
·
kaum
intelektual memiliki akses yang lebih baik pada pengetahuan dibanding kaum
non-intelektual.
·
Akses
tersebut “lebih baik berterima kasih kepada aturan-aturan prosedural yang
menjamin pencapaian kebenaran, datangnya penilaian moral, dan penyeleksian
selera artistik yang cocoa. Aturan-aturan prosedural semacam itu memiliki
validitas universal, sebagaimana hasil dari aplikasi mereka” (Bauman, 1987:
4-5).
·
Mereka
yang menggunakan aturan-aturan ini (yang berada dalam profesi-profesi
intelektual misalnya ilmuwan) menjadi, akhirnya, pemilik kolektif atas
pengetahuan yang dihasilkan.
·
Pengetahuan
tersebut, akibatnya, dianggap sebagai “pertalian langsung dan panting pada peraturan
dan penyempurnaan aturan sosial” (Bauman, 1987: 5; cetak rrdring tambahan).
·
Semuanya
ini tergantung pada karya intelektual-intelektual lain yang merumuskan
aturan-aturai’( prosedural dan menegakkan kontrol atas aplikasi yang cocok
dari aturan-aturan tersebut.
·
Kaum
intelektual, sebagaimana pengetahuan yang mereka ciptakan, “tidaklah terika.t
dengan tradisi lokal, komunal” (Bauman, 1987: 5; cetak miring tambahan).
·
Karena
mereka tidak terikat kepada lokal tertentu, kai.tm intelektual memiliki hak
untuk mengesahkan atau tidah niengesahkan ide-ide yang dilokalisasi. Mereka
dengan demikian dapat memalsukan ide-ide lokal (atau lemah).
Secara luas, namun tidak eksklusif, diasosiasikan dengan modernitas dan
sosiologi modern, legislator memiliki kekuasaan’ yang sangat besar, khususnya
dalam menentukan apa yang orang-orang tahu (atau mereka pikir tahu).
Rangkaian ide-ide yang sangat berbeda diasosiasikan dengan interpreter: Interpreter
menafsirkan ide-ide yang diasosiasikan dengan suatu tradisi komunitas sehingga
mereka dapat dipahami oleh mereka yang berada dalam komunitas-komunitas lain.
·
Interpreter
tidak berorientasi pada pemilihan ide-ide terbaik; tujuannya secara sederhana
adalah untuk nrenrfasilitasi komunikasi di antara komunitas-komunitas bebas.
·
Interpreter
berusaha untuk mencegalr distorsi dalam komunikasi. Dalam melakukan hal
tersebut, interpreter harus mengembangkan pemahaman yang dalant aras sistem
pengetahuan yang akan ditafsirkan
·
Di
samping itu, interpreter “perlu memelihara keseimbangan yang split antara dua
kebutuhan tradisi yang berlawanan agar pesan tidak terdistorsi.(berkaitan
dengan makna yang ditanamkan oleh pengirim) dan dipahami (oleh penerima)”
(Bauman, 1987:5; cetak miring tambahan).
Secara menyeluruh, interpreter dari sebuah komunitas tidak berada dalam
posisi yang lebih unggul dibandingkan dengan mereka yang ada di komunitas lain;
tidak satu pun interpreter yang secara inheren lebih unggul dari yang lain.
Dibandingkan dengan legislator, interpreter memiliki kekuasaan yang lebih
kecil, khususnya untuk memaksakan interpretasi mereka pada anggota-anggota
komunitas dan interpreter lain. Interpreter lebih diasosiasikan dengan
postmodernitas ketimbang dengan modernitas.
Secara gamblang, cara interpreter postmodern sangat berbeda dengan
pendekatan modern legislator. Tetapi, Bauman (1987: 5) memperjelas bahwa
kite-tidak seharusnya melihat interpreter sebagai pengganti legislator dalam
jenis perkembangan historis yang tidak linear.’ Tepatnya, apa yang sedang
terjadi adalah sebuah perubahan dalam kepentingan relatif mereka.
Menuju Jalan Pemikiran Postmodern
Bauman melihat bahwa postmodernisme memiliki berbagai makna, tapi baginya
yang paling penting adalah makna khusus pemikiran postmodernisme. Secara khusus dapat dikatakan adanya fakta
bahwa kaum postmodernis itu refleksif; mereka jauh lebih cenderung (daripada
kaum modernis) secara seksama bercermin pada diri mereka sendiri dan ide-ide
mereka. Walhasil, kecenderungan berpikir kaum postmodernis “secara keseluruhan
ditandai oleh seluruh sifat menghancurkan yang mengejek, menghanyutkan,
melarutkan. Sepertinya terkadang pikiran postmodern tersebut adalah sebuah
tinjauan yang terlihat pada saat masa kemenangan akhirnya.... kritisisme-diri
yang obsesif” (Bauman, 1992:vii-viii; cetak miring tambahan).
Dalam konteks ini, Bauman membuat pemisahan yang menarik antara
masyarakat modern dan kebudayaan modern. Baginya, pikiran postmodern mewakili
sebuah versi ekstrem dari kebudayaan modern, melambangkan dan meradikalkan
kegelisahan dan ketidak pernah puasannya. Pada tingkat ketika kecenderungan
berpikir semacam itu lebih menonjol, is mewakili kemenangan dari kebudayaan
modern (radikal) atas karakter masyarakat modern yang jauh lebih statis dan
konservatif. Dalam kemenangan mereka, kebudayaan modern radikal dan pikiran
postmodern berusaha untuk merobohkan struktur-struktur kekuasaan yang bekerja
sama mempertahankan masyarakat modern. Bauman meyakini hal ini, sebagaimana dia
lakukan dalam banyak hal yang diasosiasikan dengan postmodernisme, karena
perobohan struktur-struktur sosial inilah yang memungkinkan masyarakat modern
menjadi lebih bail( dalam mencapai potensinya.
Dengan berkembangnya mereka, kaum postmodern tidak berusaha untuk
mengganti seperangkat kebenaran setelah mereka berhasil merobohkan kebenaran
sebelumnya. Agaknya, kaum postmodernis lebih puas hidup tanpa kebenaran-kebenaran.semacam
itu. Kaum postmodernis sangat kritis, namun mereka puas untuk tidak mengusulkan
apapun yang baru untuk menggantikan apa yang mereka hancurkan. Ada pemikiran,
kendati begitu, bahwa dalam menghancurkan struktur-struktur kekuasaan (dan
hambatan-hambatan mental), kaum postmodernis
Postmodernitas....”menghadirkan kembali pesona dunia” setelah perjuangan
modem yang berlarut-larut dan sungguh-sungguh, meskipun pada alchimya tidak
meyakinkan, untuk menghilangkan pesonanya (atau, lebih tepatnya, periawanan
untuk penghilangan pesona, nyaris tidakpemah tidur, sepanjang “duri postmodern”
dalam batang tubuh modernitas). Kecurigaan spontanitas manusia, atas gerakan,
dorongan, dan kehendak had bertahan terhadap prediksi dan justifikasi rasional,
telah tergantikan pleb kecurigaan atas takberperasaan, alasan penghitungan.
Kewibawaan telah kembali kepada perasaan; legitimasi pada “tidak dapat
dijelaskan,” bukan irasional....dunia postmodern adalah suatu dunia di mana
niisteri tidak lagi sebuah makhluk asing yang menunggu perintah deportasi....
kita belajar untuk hidup dengan peristiwa-peristiwa dan aksi-aksi yang tidak
saja belum-dijelaskan, namun (semua yang kita tabu yang kita akan tabu) tidak dapat
dijelaskan. Kita belajar kembali untuk menghargai ambiguitas, untuk merasa
hormatpada perasaan-perasaan manusia, untuk menghargai tindakan-tindakan tanpa
tujuan dan ganjaran-ganjaran yang dapat diperhitungkan,
(Bauman, 1993: 33)
Lebih penting, kaum modernis disifatkan dengan ,usaha untuk membuat
undang-undang, untuk mengatur dunia, untuk membuatnya lebih jinak, sementara
kaum postmodernis, sebagaimana telah kita lihat, tertarik dalam usaha menuju
membongkar kontrol-kontrol tersebut. Apa yang ingin diperbuat kaum modernis
(meskipun seringkali secara tak sadar) dan apa yang kaum postmodernis lawan
dengan gigih ditangkap dengan baik oleh Bauman (1992: xvii) ketika ia
berargumen, “Modernitas adalah sebuah barisan panjang menuju penjara, ia tidak
pernah sampai di sang (meski di beberapa tempat, seperti di Rusianya
Stalin, Jermannya Hitler atau Cinanya Mao, is hadir cukup
dekat), sekalipun bukan karena kurangnya mencoba.”
Sosiologi Postmodern, Sosiologi alas Postmodernitas
Bauman secara umum menentang pengembangan dari apa yang dia sebut sebagai
“sosiologi postmodern.” Satu dari sekian banyak alasan bagi penentangannya
tersebut adalah ketakutan bahwa sebuah sosiologi postmodern secara radikal akan
menyerah kepada pertanyaan-pertanyaan formatif yang ada dalam fonda’si
disiplin ini. Bauman juga menentang sebuah sosiologi postmodern karena hal ini
akan, oleh sifat alamiahnya, menjadi selaras dengan kebudayaan postmodernitas.
Karena kebudayaan postmodern sangat berbeda dari kebudayaan modern, sosiologi
postmodern akan menjadi sangat berbeda dengan sosiologi modern. Sebagai contoh,
perbedaan antara kebudayaan modern rasional dan kebudayaan post-modern
non-rasional akan tercermin dalam masing-masing sosiologi. Bauman tidak siap
untuk sosiologi non-rasional; dia menginginkan sebuah sosiologi yang pada
batasan yang lebih luas melanjutkan asal muasalnya.
Tetapi, paling tidak ada satu aspek dari sosiologi post-modern dan Bauman
merasa nyamanstatus multi paradigmanya. Sosiologi postmodern “tidak berambisi
pada penggabungan cakrnwala, sebagaimana pada perluasan cakrawaln melalui
eksposisi keberagaman bawaan karakter mereka dan tantbalian secara mutual;
alih-alih, eksklusif secara mutual” (Bauman, 1992: 133). Sementara sosiologi
modern diasosiasikan dengan paradigmaparadigma yang mencari pembedaan bagi
diri mereka sendiri dari pendekatan-pendekatan alternatif dan berusaha untuk
mencapai hegemoni dalam sosiologi sendiri, dalam keberagaman secara inheren
sosiologi postmodern, paradigms yang berlipat jumlahnya tersebut akan
berdampingan secara damai dan berusaha sating melengkapi antara satu dengan
lainnya.’’’
Meskipun sedikit bersimpati terhadap sosiologi postmodern, Bauman merasa
bahwa apa yang benar-benar dibutuhkan untuk kita kembangkan adalah sebuah
sosiologi atas postmodernitas. Meskipun sosiologi postmodern secara tajam
terpisah dari sosiologi modern, sebuah sosiologi atas postmodernitas
berkesinambungan dengan sosiologi modern oleh, contohnya, “menyebarkan
strategi diskursus-diskursus rasional sistematis untuk menyusun model teoretis
dari masyarakat postmodern sebagai sebuah sistem dalam cara yang benar” (Bauman,
1992: 65). Sementara berkesinambungan dengan sosiologi modern, sosiologi atas
postmodernitas menerima “perbedaan figurasi postmodern, bukan memperlakukannya
sebagai penyakit ataupun bentuk yang merosot dari masyarakat modern” (Bauman,
1992: 27). Jadi, dalam sosiologi atas postmodernitas masyarakat postmodern
dilihat sebagai sebuah bentuk sosial unik dan tidak selalu sebagai sebuah
bentuk penyimpangan dari modernitas.
Bauman dengan jelas merasakan bahwa sosiologi modern, secara luas
sebagaimana yang telah kita ketahui, bergantung kepada togas menganalisis masyarakat
postmodern. Pada akhirnya sosiologi modern harus mknyesuaikan diri kepada
realitasrealitas Baru masyarakat semacam itu. Sebagai contohnya, disiplin ini
harus meninggalkan keasyikan lamanya dengan negara bangsa karena sebagai
sebuah kerangka kerja negara-bangsa tidak “cukup besar untuk mengakomodasi
faktor-faktor yang menentukan dalam mengaturinteraksi dan dinamika kehidupan
sosial” (Bauman, 1992: 65). Yang juga harus ditinggalkan adalah model
organis yang telah mendominasi sosiologi dari asalnya. Narnun ide lain yang
seharusnya dibuang adalah gambaran mengenai kemajuan. Sebagai gantinya, Bauman
mengambil ide favorit kaum postmodernis, gerakan Brownian, di mana
Setiap negara sementara bukanlah akibat yang dibutuhkan dari negara yang
sebeiumnya ataupun sebagai penyebab yang cukup untuk yang berikutnya. Kondisi
postmodern ditentukan dan nienentukmt. la “melepaskan ikatan” waktu;
memperlemah akibat yang memaksa dari masa lalu dan secara efektif mencegah
penjajahan atas masa depan.
(Bauman, 1992:190)
Akhirnya, Bauman berkeinginan meninggalkan modernfokus pada masalah
kendala. Tepatnya, sosiologi atas postmodernitas seharusnya memusatkan
perhatian pada agen dan juga habitat di mana ia-mencipta dan bcroperasi. Jadi
meskipun ada kesinambungan dalam sosiologi modern, sosiologi atas poshnodernitas
dari Bauman akan memiliki beberapa karakter yang sangat berbeda.
Lebih positif lagi, ken,-ataan yang cianalisis oleh sosiologi atas
postmodernitas “lebih cair, heterogen dan ‘terpolakan’ dibandingkan dengan
segala yang ingin dicapai oleh para sosiolog secara intelektual di masa lalu”
(Bauman, 1992: 65). Lebih dari ini, perubahan-perubahan di permukaan yang telah
mengambil tempat dalam dunia postmodern adalah manifestasi-manifestasi dari
transformasi dunia sosial yang lebih dalam, perubahan “dalam lingkungan
reproduksi sistematis, integrasi sosial dan struktur dunia-kehidupan, dan juga
dalam cara barn ketiga lingkungan ini dikaitkan dan saling selaras” (Bauman,
1992: 64). Kesimpulannya, sosiologi atas postmodernitas adalah “kelanjutan
persoalan modern di bawah kondisi-kondisi postmodern” dan “akan dibedakan tidak
dari prosedur-prosedur dan tujuan-tujuan yang baru dari karya
sosiologis....melainkan oleh sebuah objek penelitian barn” (Bauman, 1992: 111)3’
Bauman menawarkan sejumlah prinsip utama dari teori sosiologi dari
postmodemitas, termasuk:
1.
Lingkungan
tempat tinggal postmodern adalah sebuah sistem yang rumit dan tidak dapat
diramalkan.
2.
Lingkungan
tempat tinggal rumit karena kurangnya organisasi sentral perumus-tujuan dan
mengandung banyak hal besar dan kecil, terutama agen-agen yang memiliki tujuan
tunggal. Tidak satupun dari agen ini yang cukup besar untuk menggolongkan
ataupun mengatur yang lain, dan masingmasing bertahan terhadap kontrol yang
terpusat. Sementara secara terpisah mereka bergantung saki sama la”Maya, “batas
kemandiriannya tidak dapat ditetapkan sehingga dengan demikian tindakan-tindakan
(dan konsekuensi-konsekuensi) mereka masih secara kukuh ditentukan, yang
independen” (Bauman, 1992: 192). Jadi, agen-agen secara luas bebas untuk
mengejar tujuan-tujuan institusional mereka.
3.
Meskipun
sebagian besar secara internal mereka menginginkan keteraturan, ketika mereka
bekerja dalam lingkungan tempat tinggal yang lebih besar, agen-agen menghadapi
sebuall tempat yang muncul sebagai;
sebuah tempat kekacauan dan ketidak moientuan kronis; sebuah wilayah
yang ditunjukkan pada rnakna persaingan dan kontradiksiklaim yang berlebihan
dan karenanya anibivalen terus-menerus. Semua keadaan lingkungan tempat tinggal
mungkin menganggap muncul rombongan yang sejajar (artinya, mereka tidak
memiliki alasan-alasan yang berlebihan untuk menjadi apapun mereka, dan mereka dapat
t saja berbeda jika setiap agen yang terlibat bertingkah laku berbeda).
(Bauman, 1992: 193)
Para agen perlu menyadari akan fakta bahwa apa yang mereka lakukan berpengaruh
terhadap lingkungan tempat tinggal di mana mereka bekerja.
4.
Situasi
eksistensial para agen cukup cair (Bauman, 1992: 193). Identitas para agen
secara terus menerus perlu dibentuk secara luas berdasarkan trial and error.
Secara permanen identitas berubah namun tidak berkembang dalam arah yang
jelas. Pada waktu yang ditentukan, pembentukan identitas melibatkan
pembongkaran beberapa elemen dan perakitan beberapa elemen-elemen baru.
5.
Satu-satunya
hal yang konstan dari semua ini adalah tubuh itu sendiri, namun bahkan di sini
para agen mencurahkan perhatian yang terus menerus pada pengolahan tubuh.
Orangorang terikat dalam sebuah rangkaian aktivitas pengaturandiri dan
peningkatan-diri (jogging, diet) dan mereka akan tersinggung jika ini dipaksakan
kepada mereka oleh beberapa organisasi eksternal. Jadi rezim ini “tidak
diterima secara eksternal sebagai hal yang dipaksakan, tidak praktis dan keharusan
tersinggung, namun sebagai manifesto dari kebebasan para agen” (Bauman, 1992:
194). Secara lebih umum, kita dapat mengatakan bahwa para agen tidak lagi
memaksa; tepatnya, mereka digoda (lihat Baudrillard, Bab 6, mengenai berahi).
6.
Karena
kekurangan proyek-kehidupan yang didesain sebelumnya, para agen membutuhkan
sebuah rangkaian poinpoin orientasi untuk membimbing langkah-langkah mereka
dalam menjalani rentang kehidupan mereka. Ini semua disediakan oleh
keagenan-keagenan lain (nyata ataupun dibayangkan). Para agen bebas mendekati
ataupun meninggalkan agen-agen yang lain ini. Kesetiaan pada agen tertentu
dicapai melalui seleksi “token simbolis” yang mengindikasikan bahwa seseorang
memiliki, teridentifikasi dengan, agen tersebut. Para agen bebas memilih (atau
tidak memilih) token-token ini selama mereka tersedia dan dapat diakses.
7.
Token-token
simbolis harus terlihat dan juga hadir secara material. Mereka juga harus
dianggap berguna oleh para agen, dalam batas tertentu mereka berguna di dalam
proses pembentukan-diri dan mereka meyakinkan agen itu bahwa “basil terakhir
dari perakitan-diri dengan sendirinya memuaskan” (Bauman, 1992: 195). Karena
kurangnya kepastian dalam sebuah dunia postmodern, pemulihan keyakinan ini
penting bagi seorang agen. Kemampuan token-token untuk mevakinkan orang-orang
tergantung dari bagaimana mereka dijamin oleh para ahli dan bagaimana
pentingnya mereka bagi sejumlah besar orang. Kebutuhan akan otoritas semacam
itu muncul dari “kehausan yang tak terpuaskan dari agen-agen pembentuka.n-diri
atas jaminan baru” (Bauman, 1992: 195). Ini menggiring pada poin umum bahwa “kebebasan
memilih dan ketergantungan pada agen eksternal menguatkan satu sama lain, dan
bersama-sama muncul dan tumbuh sebagai produk-produk dari proses
perakitan-diri yang sama dan dari permintaan konstan untuk poin-poin orientasi
yang terpercaya yang tidak dapat tidak menghasilkan” (Bauman, 1992: 195).
8.
Aksesibilitas
ke sumber daya bervariasi di antara para agen tergantung pada aset-aset pribadi
mereka, terutama pengetahuan. Mereka yang memiliki pengetahuan lebih ‘dapat memilih
di antara pola-pola yang telah terbentuk dalam rentangan yang lebih luas.
Variasi-variasi dalam kebebasan memilih di antara sumber daya adalah dasar
utama dari posisi sosial dan ketidaksamaan sosial dalam masyarakat postmodern.
Pengetahuan juga merupakan taruhan utama dalam segala jenis konflik yang
bertujuan untuk pembagian ulang sumber daya. Penekanan pada pengetahuan ini
cenderung untuk mengembangkan lebih jauh status dari para ahli. “Informasi
menjadi sumber daya utama, dan para ahli adalah perantara penting atas perakitan-diri”
(Bauman, 1992: 96).
Dalam hal pemisahan legislator-interpreternya, Bauman sepertinya lebih
menekankan bahwa kita mungkin saja menyaksikan akhir dari sosiologi
legislatif. Meskipun beberapa boleh saja bergabung atas hal ini. Yang lain akan dibebaskan oleh hal
ini dan bebas untuk menerapkan jenis-jenis sosiologi baru dan berbeda. Tidak
lagi mampu menyediakan dasar-dasar yang tidak dapat dipercayakan untuk terikat
dalam refleksi diri yang belum pernah terjadi sebelumnya dan untuk mencapai
sebuah tindakan pemahaman diri kritis yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sosiologi boleh hadir untuk memenuhi, serta bertahan lama. Mimpi
pencerahan mengenai bertemunya pikiran-pikiran rasional tanpa bersumber pada
dalil jalan buta, post pencerahan ataupun jalan yang berputar-putar ke
Auschwitz, yang menyamar sebagai jalan-jalan pintas pada sebuah dunia tanpa
masalah, konflik dan perubahan
(Bauman, 1992: 86)
Atau
Bebas dari perasan nalar legislatif, sosiologi dapat memusatkan perhatian
pada tugas oleh sebab itu berhubungan adanya sifat penyelidikan selalu
dipersiapkan secara lebih baik. Ia bisa saja “keluar” secara terbuka menjadi
apa yang telah ditentukan sejak awal; yang disampaikan penjelasan yang
sistematis tentang pengetahuan kehidupan sehari-hari. Sebuah penjelasan
berkembang bahwa ilmu pengetahuan ketika dimasukkan dalam komentar maka dirinya
akan berubah
(Bauman, 1992: 144)
Sosiologi yang muncul dari refleksi diri ini akan menjadi, tidak terlalu
mengejutkan “Sebuah tafsiran”, masuk akan sebuah akal yang mendunia, yang
menciptakan keadaan yang mental dimana keputusan-keputusan diambil dan kebebasan memilih diperlakukan. (Bauman,
1992:90)
Postmodernitas dan (kemungkinan Akhir
dari Perang Melawan Ambivalensi
Postomodernitas adalah sebuah perspektif yang muncul dari bangkitnya
modernitas; hal ini sebagaimana diindikasikan sebelumnya, modernism yang
melihat kepada dirinya sendiri dan menilai kekuatan dan kelemahan sendiri:
Postmodernitas tidak harus berarti sebuah sihir, pendiskreditan, (atau)
penolakan terhadap modernitas.
Posmodernitas tidak lebih (namun tidak juga kurang) dan pikiran yang lama,
penuh perhatian dan sadar dalam melihat dirinya, pada kondisi dan karyanya di
masa yang telah lalu, tidak sepenuhnya menyukai apa yang ia lihat dan merasakan
dorongan untuk berubah. Postmodernitas adalah modernitas yang menjelang tua;
modernitas yang melihat dirinya dari sebuah jarak yang jauh daripada dari
dalam, membuat inyentarisasi penuh atas semua kemenangan-kemenangan dan
kekalahan-kekalahannya, membuat psikoanalisis atas dirinya, menemukan
niatan-niatan yang sebelumnya belum pernah diungkapkan, menemukan apa yang
secara mutual dihapuskan dan tidak la yak. Postmodernitas adalah modernitas
yang hadir dalam pengertian dengan ketidakmungkinannya sendiri; sebuah
masyarakat pengawas sendiri, sesuatu
yang dengan kesadaran membuang apa yang sebelumnya secara tidak sadar pernah
dilakukan.
(Bauman, 1991: 272)
Dalam salah satu di antara banyak usaha untuk menawarkan sebuah
pemahaman postmodernitas, Bauman memaarkan bahwa di samping modernitas
dikarakterkan dengan “ziarahziarah” yang mencari tujuan-tujuan yang ditentukan
sebelumnya, postmodernitas dikarakterkan dengan sebuah kumpulan “pari pejalan,”
“para pengembara,” “para pelancong,” dan “para pemain” yang berbeda-beda.
Masing-masing tipe yang disebut belakangan mengomunikasikan bagian dari apa itu
kehidupan postmodern, tapi kehidupan itu “terlalu berantakan dan membingungkan
untuk digenggam oleh satu dari sekian bentuk kumpulan” (Bauman, 1995: 91). Di
atas segalanya, Bauman melihat fragmentasi menegaskan dunia sosial postmodern.
Jadi, para pejalan mengembara dengan asviknya mengamati kepingan-kepingan
kehidupan mereka yang ditemui yang berlalu dengan cepat. Para pengembara
adalah orang-orang asing yang tak bertuan yang berkeliaran tanpa tujuan yang
pasti; bahkan mereka tidak tahu akan pergi ke mana setelahnya. Para pelancong,
juga, dalam pergerakan, dan meskipun bisa jadi mereka ada di banyak tempat,
mereka tidak pernah menjadi bagian tempat tersebut. Akhirnya, para pemain
berurusan dengan hidup sebagai sebuah permainan tanpa konsekuensi-konsekuensi
yang tahan lama; mereka membuat pendekatan pada hidup sebagaimana anak-anak
melakukannya. Empat jenis ini, dikumpulkan jadi satu, mengomunikasikan sesuatu
yang tidak abadi, kenyataan yang terfragmentasikan itulah postmodernitas.
Bauman akhirnya menawarkan bagi kita cara-cara lain untuk mengatasi
masyarakat postmodern. Sebagai contoh, kita mendapat pemahaman lain tentang
bagaimana ia memandang postmodernitas dalam diskusinya mengenai seni
kontemporer sebagai sebuah paradigma dunia postmodern. Pertama, seni
kontemporer menentang tatanan, baik yang sinkronis ataupun diakronis. Kedua,
tidak ada mazhab-mazhab seni ataupun gaya yang secara jelas dapat dikenali secara
dominan. Ketiga, seni cenderung mencomot di sana-sini karya lain (pastiche).
Keempat, ia menolak peniruan dan cenderung menjadi rujukan-diri. Kelima, tidak
ada kebenaran mutlak dalam seni kontemporer. Dan keenam, tidak adanya,
sebagaimana sebelumnya, otoritas mutlak dalam seni semacam ini.
Secara lebih umum, Bauman (1992:31) menetapkan kebudayaan postmodern
seperti (di mana seni kontemporer menjadi bagiannya), di antara hal-hal
lainnya,
·
Pluralistis;
·
Berjalan
di bawah perubahan yang konstan;
·
Kurang
dalam segi “otoritas yang mengikat secara universal’“;
·
Melibatkan
sebuah tingkatan hierarkis (lebih banyak tingkatan lapangan permainan);
·
Merujuk
pada “polivalensi tafsiran”;
·
Didominasi
oleh media dan pesan-pesannya;
·
Kurang
dalam hal kenyataan mutlak karena segala yang ada adalah tanda-tanda; dan
·
Didominasi
oleh pemirsa (dari TV, dan dari manapaii).
Mungkin yang paling mencengangkan adalah adopsi Bauman (1992: 31) atas “tragedi
kebudayaan”nya Simmel dalam menggambarkan kebudayaan postmodern: “tragedi
kebudayaan.... telah mencapai kesempurnaan; batang tubuh produkproduk
kultural yang ada secara objektif berada dalam-kelebih=--an kapasitas
pemahaman dari setiap anggota masyarakat.”
- Pluralisme hadir lebih dahulu dalam daftar di atas karena ia menempati
tempat sentral dalam analisie Bauman mengenai kebudayaan postmodern.
Sebagaimana ia menempatkannya, “tampilan utama yang dianggap ada dalam ‘postmodernitas’
adalah pluralisme kebudayaan-kebudayaan yang permanen dan tidak dapat dikurangi,
tradisi-tradisi komunal, ideologi-ideologi, perhatian dan sadar dalam melihat
dirinya, pada kondisi dan karyanya di masa yang telah lalu, tidak sepenuhnya
menyukai apa yang ia lihat dan merasakan dorongan untuk berubah. Postmodernitas
adalah modernitas yang menjelang tua; modernitas yang melihat dirinya dari
sebuah jarak yang jauh daripada dari dalam, membuat inyentarisasi penuh atas
semua kemenangan-kemenangan dan kekalahan kekalahannya, membuat psikoanalisis
atas dirinya, menemukan niatan-niatan yang sebelumnya belum pemah diungkapkan.
menemukan apa yang secara mutual dihapuskan dan tidak lava’. Postmodernitas
adalah modernitas yang hadir dalam pengertian dengan ketidakmungkinannya
sendiri; sebuah masyarakat pengawasan-diri, sesuatu yang dengan kesadaran
membuang apa yang sebelumnya secara tidak sadar pernah dilakukan.
‘bentuk-bentuk kehidupan’, atau ‘permainan-permainan bahasa’....atau
kesadaran dan pengenalan atas pluralisme semacam itu” (Bauman, 1992: 102).
Dengan adanya pluralisme semacam itu, tujuan modern untuk melindungi hegemoni
global kebudayaan “unggul” tidak lagi masuk akal. Bahkan, dalam dunia postmodern
pluralisme kebudayaan kita harus memusatkan perhatian pada bagaimana
kebudayaan-kebudayaan yang berbeda dapat saling berkornunikasi dan memahami
satu sama lain.” Ini adalah cara lain untuk mengemukakan kembali tesis dari
kekuasaan interpreter atas legislator.
Dari seni dan kebudavaan, Bauman bergerak menuju diskusi mengenai
masyarakat postmodern. Bagi Bauman, postmodernitas juga dapat dilihat sebagai
sebuah bentuk (atau figurasi) sosial. Sernentara dia menghubungkan bentuk
sosial modern dengan karya, dia mengaitkan masyarakat postmodern dengan konsumsi.
Seperti Baudrillard (lihat Bab 5), Bauman berpendapat bahwa dahulu kapitalisme
menguasai kontrol atas bidang produksi, sekarang ia mengalihkan perhatiannya
pada konsumsi. Tetapi, sederhananya, muncul perbedaan utama di sini karena jika
Baudrillard melihat kontrol dalarn bidang konsumsi, Bauman malahan meramalkan
konsumen ketika prinsip kenikmatannya dimungkinkan merajalela dengan bebas
dalam pasar. Kebebasan dalam bidang konsumsi menimbulkan sejenis nilai keselamatan
guna menahan kontrol yang ada dalam lingkungan produksi. r
Bagaimanapun, dalam pemeriksaan yang cermat Bauman, sebagaimana
Baudrillard, menekankan kontrol atas konsumsi: “Bagi sistem konsumen, seorang
konsumen yang bahagia-menghabiskan uang adalah sebuah kebutuhan; bagi konsumen
individu, menghabiskan uang adalah sebuah tugas—mungkin tugas yang paling
penting” (Bauman, 1992: 50). Ada -tekanan terhadap konsumenbaik dalarn
tingkatan sosial ataupun sistematis. Pada tingkatan sosial konsumen merasakan
tekanan untuk menghabiskan uang untuk menyaingi secara simbolis teman
sebayanya, untuk mengembangkan sebuah definisi-diri rang memberikan distingsi
dan juga perbedaan, dan untuk mendapatkan pengakuan sosial. Pada tingkatan
sistematis, ada tekanan untuk mengonsumsi dari perusahaan-perusahaan yang
memperdagangkan barang‑barang konsumsi. Tekanan ini, meskipun kuat, mungkin
bahkan berlebihan, tidak dialarni oleh para konsumen sebagai sebuah usaha
kontrol tapi lebih sebagai sumber-sumber kesenangan dan kenikmatan. Seperti
Pierre Bourdieu, Bauman (1992: 51) percaya bahwa godaan semacam itu” lebih
murah dan lebih efisien dibandingkan dengan kontrol tradisional; berahi mungkin
saja melakukan “represi sebagai kendaraan tertinggi dari kontrol sistematis dan
integrasi sosial.” Hasil dari kontrol baik atas produksi maupun konsumsi
menguatkan dan semakin mengamankan sistem kapitalis. Sistem kapitalis sekarang
mereproduksi sendiri kebebasan individu dan bukan melalui. bentuk-bentuk
penindasan yang mencolok.
Reproduksi sistematis dan integrasi sosial dalam masyarakat kapitalis
sekarang ini sedang dalam pijakan yang baru. Kapitalisme kontemporer “tidak
memiliki sesuatu yang ingin dicapai dari sesuatu yang kaku dan sistem
kapitalisme ‘klasik’ yang represif mempropagandakan: aturan-aturan keras dan
universal, kriteria kebenaran rang jelas, noralitas dan kecantikan, otoritas
penghakinurn yang tak dapat dibagi” (Bauman, 1992: 52). Postmo-i dernitas,
setidaknya dalam satu hal, yang baru ini, adalah bentuk kapitalisme yang
menggoda dan telah menggantikan sistem kapitalisme klasik yang koersif.
Masyarakat baru ini, khususnya dalam bidang konsumsi, butuh untuk dianalisis,
menurut Bauman, dengan konsep-konsep baru dan ala t-alat intelektual baru.
Penting untuk mengulangi pertanyaan bahwa ketika Bauman menekankan
konsumsi dan peran yang dimainkan oleh berahi di dalamnya, ia benar-benar
menyadari bahwa represi tersebut terus ada di dunia postmodern, khususnya dalam
bidang produksi.
Meskipun Bauman membicarakan postmodernitas dalam bentuk-bentuk artistik,
kultural, dan sosial, kita tidak boleh lupa bahwa ia juga tertarik dengan
postmodern dari sudut pandang kaum intelektual (misalnya, kaum legislator
melawan kaum interpreter). Dalam kajiannya situ ia menawarkan, di antara berbagai
hal, pengalaman bare perihal kesadaran-diri yang baru. Pada kenyataannya,
Bauman (1992: 101; cetak miring tambahan) juga memahami postmodernitas sebagai
sebuah fenomena kognitif, seperti “perasaan gelisah, tidak pada tempatnya, kehilangan
arah yang, sebagaimana sava usulkan, membentuk rujukan nyata konsep ‘postnioderuitas’.”
Analisis kognitif postmodernitas ini secara keseluruhan, dan kegelisahan yang
d* cemukan di dalamnya, adalah sebuah refleksi dari situasi di saat kaum
intelektual menemukan diri mereka sendiri.
Belajar Untuk Hidup dengan Ambivalensi?
Ambivalensi adalah sebuah produk istimewa modernitas, namun
postmodernisme menawarkan paling tidak kemungkinan penanggulangan masalah itu
dengan hanya menerima dan belajar untuk hidup dengan ambivalensi. Dalam kenyataannya,
Bauman sanggup memahami postmodernitas dalam posisi yang berlawanan dengan
modernitas dan kebutuhannya untuk melenyapkan ambivalensi:
Postmodernitas berarti pembebasan yang pasti dari kecenderungan modern
secara khusus untuk mengatasi ambivalensi dan mempropagandakan kejelasan
tunggal akan keseragaman.... Postmodernitas adalah modernitas yang telah
mengakui ketidakmungkinan terjadinya proyek yang direncanakan semula.
Postmodernitas adalah modernitas yang berdamai dengan kemustahilaluiya dan
memutuskan, . tentang baik dan buruknya, untuk hidup dengannya. Praktik modery
berlanjut-sekarang, meskipun, sama sekali tanpa objektif (ambivalensi) yang
pernah memicunya.
(Bauman, 1991:98)
Betapapun, ia sukses belajar untuk hidup dengan ambivalensi, dan dengan
demikian menghilangkan ambivalensi sebagai sumber masalah (dan dijamin itu
bukanlah sebuah kesengajdan), namun postmodernisme juga berhasil menciptakan
serangkaian masalah-masalah lain. Jadi, Bauman (1991:: 97) menyimpulkan,
postmodernitas “mengkhawatirkan namun demikian masih menggembirakan.” Atau,
dengan kata lain, postmodernitas “penuh dengan sebuah inolnic—tercerabut
antara kesempatan yang ia buka dan ancaman-ancaman yang bersembunyi di balik
setiap kesempatan” (Bauman, 1991: 251). (Kebanyakan kaum postmodernis
memiliki, sebagaimana kita akan ketahui, sebuah pandangan yang jauh lebih
pesimistis atas masyarakat postmodern; lihat juga diskusi Mestrovic [1993] mengenai
barbarisme yang is kaitkan dengan postmodernisme.)
Alih-alih mencoba menghilangkan ambivalensi, postmo Perspektif Eropo
Loinnyo dernitas menerima keberantakan dunia; ia tidak ditetapkan untuk
memaksakan aturan atas dunia. Jadi, sebagai contohnya, dunia postmodern lebih
menerima orang asing. Secara lebih umum, ini adalah sebuah dunia yang lebih
toleran; is menoleransi perbedaan-perbedaan. Tetapi, toleransi menimbulkan
lebih banyak ambiguitas. Jadi, dunia postmodern ditakdirkan menjadi dunia yang
Lebih tak pasti daripada modernitas. “Modernitas kekurangan tangan
besi,postmodernitas membutuhkan urat saraf baja” (Bauman, 1991: 245).
Meskipun Bauman secara umum melihat postmodernitas lebih baik daripada
modernitas, dia, pada dasarnya, memiliki ambivalensi terhadap hal ini.
Contohnya, dia berpendapat bahwa postmodernitas berbagi dengan modernitas
ketakutan akan kehampaan. Postmodernitas tidak berhasil melenyapkan ketakutan
tersebut, tetapi is berhasil memprivatisasinya. Dihadapkan dengan ketakutan
privat, individu-individupostmodern juga dikutuk karena berusaha melarikan diri
dari ketakutanketakutan mereka sendiri. Tidaklah mengejutkan, mereka telah
diseret ke komtiizitas-komunitas sebagai tempat naungan dari
ketakutan-ketakutan tersebut. Bagaimanapun, “neotribalisme” ini memunculkan
kemungkinan konflik antara suku-suku. Bauman khawatir mengenai
permusuhan-permusuhan ini dan berpendapat bahwa kita perlu menempatkan rem
dalam pengembangan solidaritas.
Sementara dunia modern berusaha menghapuskan komunitas-komunitas yang
terpisahkan dan menggabungkan mereka dalam sebuah kesatuan, “postmodernitas....adalah
abad komunitas: bagi melanggengkan komunitas, mencari komunitas, menemukan
komunitas, membayangkan komunitas” (Bauman, 1991: 246). Maffesoli (1995)
menganugerahi abad ini sebagai “neotribalisme.” Sukr,-suku baru ini, atau
komunitas, adalah--tempat pengungsian bagi orang-orang asing dan secara lebih
khusus kelompok-kelompok etnis, agama, dan politik yang lebih luas.
Komunitas-komunitas ini, dan kelompok-kelompok mereka, ditoleransi oleh masyarakat
yang lebih besar. “Terbebaskan dari kebanggaan modern, pikiran postmodern tidak
terlalu membutuhkan kekejaman dan menghina yang lain” (Bauman, 1991: 257).
Tetapi, lebih sedikit kekejaman dan penghinaan dan lebih banyak toleransi tidak
cukup untuk menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Bauman. Setiap komunitas ini
butch dihormati oleh komunitas-komunitas yang lain dan juga oleh masyarakat secara
keseluruhan.
Sementara ia menawarkan pengharapan bagi ambivalensi, yang terakhir ini
tidak lenyap sama sekali dalam postmodernitas. Masih ada ketidaksenangan dan
ketidakpuasan yang popular, namun negara postmodern tidak lagi merasakan
kebutuhan untuk mengontrolnya. Tepatnya, mungkin ambivalensi yang terpecah-pecah
tersebut dapat digunakan untuk membantu masyarakat mereproduksi dirinya: “Yang
dulu dinyatakan sebagai bahaya besar bagi seluruh aturan sosial dan politik,
ambivalensi bukan lagi sebuah ‘musuh di pintu gerbang’. Sebaliknya; seperti
yang lainnya, ia telah diciptakan sebagai salah satu penyangga panggung dalam
sebuah drama yang dijuluki postmodernitas” (Bauman, 1991: 279).
Bagaimanapun, toleransi dari postmodernitas tidak perlu menuju ke arah
solidaritas. Karena ia dikarakterisasikan dengan ketiadaan perhatian,
postmodernitas dapat lebih mudah melibatkan diri dalam tindakan-tindakan
kekejaman. “Postmodernitas adalah sebuah tempat bagi kesempatan dan sebuah
tempat bagi bahaya; dan keduanya hadir untuk sebuah rangkaian alasan yang sama
[kinususnya toleransil” (Bauman, 1991: 262). Lebih jauh, Bauman menegaskan
bahwa ini cukup; mudah bagi toleransi postmodem untuk merosot menjadi keegoisan
kaum kaya dan penuh sumber daya....Urusan yang belum selesai dari mesin sosial
modern bisa saja meletus dalam sebuah semburan baru kebencian yffg biadab, yang
lebih banyak dibantu daripada dihalangi oleh pemusatan-diri dan
ketidakberbedaan postmodern yang baru disahkan. Dinding perlindungan atas rasa
bermain yang tidak memperhatikan yang ditawarkan oleh gaya-gaya postmodern
secara tepat adalah apa yang dilewatkan oleh para pelaku kekejaman massy
modern. (Bauman, 1991: 259-260)
Kehidupan di dalam “habitat” postmodern tidaklah mudah. Ini adalah sebuah
kehidupan tanpa pilihan-pilihan yang jelas dan dengan strategi-strategi yang
selalu terbuka untuk dipertanyakan. Tetapi, jika ada satu hal yang jelas dalam
dunia postmodern, itu adalah “kebebasan yang terikat pada pilihan konsumen
Perspektif dengan gamblang tidak cukup untuk penampilan tugas-kehidupan yang
berhadapan dengan individualitas yang diprivatkan” (Bauman, 1992: 185).
Bagaimanapun paradoksnya di sini, namun masyarakat postmodern adalah, di atas
segalanya, sebuah masyarakat konsumen. Sehingga, kita sepertinya dikutuk oleh
pengetahuan bahwa dunia di mana kita tinggal tidak mencukupi
kebutuhan-kebutuhan kita.
-
Politik dan Etika Postmodern
Sementara teori sosial modern secara tradisional adalah teori yang
terpisah dari politik, tidak demikian halnya dengan teori postmodern (Bauman,
1992: 196). Secara eksistensial, dalam situasi postmodern kekuasaan dari
Negara-Bangsa terkikis. Bukannya pemusatan negara, kekuasaan malah menyerah
pada agenagen lokal dan parsial yang menangani serangkaian kebijakankebijakan
lokal dan parsial. Ini mengurangi dan menghilangkan ketidakpuasan yang tidak dapat
lagi diarahkan lagi pada negara. Kelompok-kelompok mungkin saja bersama-sama
menangani persoalan-persoalan tertentu, namun mereka sebagian besar terbagi
secara internal dan terpecah ketika persoalan yang dipertanyakan telah
terpecahkan atau telah hilang. Dalam dunia politik postmodern ini, beberapa
masalah politis modern (misahnya, ketidaksetaraan) bertahan, meskipun mereka
tidak lagi sebagai sentral sepeiti sebelumnya.
Sementara beberapa bentuk politik modern bertahan, bentuk-bentuk
postmodern secara mengejutkan bergerak ke arah panggung sentral. Bauman
menguraikan empat bentuk utama dari politik postmodern.
·
Pertama,
politik suku (tribal politics). Suku-suku postmodern hadir secara simbolis
sebagai komunitas-komunitas yang dibayangkan, dan mereka secara konstan
diperbaharui oleh- – ritual-ritual simLfolis. Jadi suku-suku bersaing antara satu
dengan lainnya dengan menggunakan ritual-ritual yang spektakuler, seringkali
mengejutkan, iuntuk menarik perhatian publik dan menjamin keberlangsungan hidup
mereka.
·
Kedua,
politik hasrat (politics of desire). Di sini suku-suku berusaha membentuk “keterkaitan
jenis tingkah laku tertentu (token-token kesukuan) untuk pembentukan-diri
(self-constitution) agen” (Bauman, 1992: 199). Sekali terbukti, token-token
soma cam itu memerlukan kekuatan hasrat dan kemudian diingirikan oleh para
agen. Politik muncul di sini sebagai agen-agen yang bersaing antara satu dengan
lainnya untuk menjadikan token-token mereka menjadi objek hasrat masyarakat.
·
Ketiga,
politik ketakutan (politics of fear). Dalam dunia postmodern, orang-orang
mungkin kurang takut dengan kontrol terpusat namun lebih mungkin takut
menghubungkan diri pada “ketidakpastian sebagaimana pada kebaikan dan kesahihan
nasihat yang ditawarkan melalui politik hasrat” (Bauman,1992: 199).
Orang-orang takut bahwa berbagai agen-agen mencelakai mereka, terutama secara
fisik.
·
Terakhir,
politik kepastian (politics of certainty). Dalam sebuah dunia di mana
orang-orang terus-menerus berupaya membentuk diri mereka sendiri, mereka
selalu mencari penegasan atas fakta bahwa mereka telah membuat pilihan-pilihan
yang tepat. Para ahli sangat penting di sini, dan orang-orang hams mempercayai
mereka. Tetapi, para ahli secara teratur menggiring orang-orang untuk
mempertanyakan kepercayaan tersebut dan secara mutlak identitas-diri mereka
sendiri.
Politik-politik postmodern dimainkan secara luas dalam tiga panggung ini.
Secara keseluruhan, para agen ditawari lebih banyak hal (barang-barang
konsumsi, token-token simbolik) yang mungkin dapat mereka gunakan. Bagaimana
memutuskan tawaran mana yang akan diterima dan mana yang akan ditolak?
Seringkali ini berdasarkan pada jumlah relatif perhatian publik menurut
tiap-tiap tawaran; semakin banyak perhatian, semakin bagus tawaran. Jadi, “Politik-politik
postmodern lebih banyak mengupas mengenai realokasi perhatian. Perhatian publik
adalah hal yang paling penting didambakan dan diperjuangkan—di antara
langkanya sumber daya-dalam pusat perhatian perjuangan politik” (Bauman, 1992:
200).
Bauman (1993: 21) juga tertarik pada status kode etis dalam era
postmodern yang secara inheren berlawanan dengan ide “sejumlah aturan yang
Baling berkaitan yang seharusnya ditaati oleh setiap person bermoral.” Dalam
postmodernitas sistemsistem etis lama tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang
memadai.Perspektif Eropa.Loinnya
Ini membuka kemungkinan pemahaman barn yang radikal atas tingkah laku
moral. Jadi, sebagaimana biasanya, Bauman melihat postmodernitas sebagai
sebuah penawaran kesempatan, dalam bidang etika. Barangkali dalam
postmodernitas “kesempatan-kesempatan ‘moralisasi’ kehidupan sosial mungkinsiapa
tahu?—ditingkatkan. Masih harus dilihat apakah masa postmodernitas akan jatuh
dalam sejarah sebagai senja kala, ataukah kebangkitan kembali moralitas”
(Bauman, 1993: 3).
Jelas di sini bahwa etika-etika postmodern harus menolak banyak hal yang
telah dilalui oleh etika-etika modern. Etikaetika postmodern harus menolak
hal-hal seperti aturan-aturan normatif yang memaksa dan mencari sesuatu seperti
hal-hal dasar, hal-hal universal, dan hal-hal mutlak. Yang juga harus ditolak
adalah pencarian modernitas akan kode etis yang nonambivalen dan ketiadaan
kontradiksi-kontradiksi. Walaupun
ada penolakan-penolakan semacam itu, jelaslah bahwa isu-isu besar dalam
etika masih terasa penting. Bahkan dalam dunia postmodern kita dihadapkan
dengan isu-isu seperti hak-hak asasi manusia, keadilan sosial, dan konflik
antara persatuanpersatuan yang penuh perdamaian dan penonjolan-diri secara
individu, dan pertentangan antara tingkah laku secara individu iengan
kesejahteraan bersama. Isu-isu ini bertahan, tapi mereka harus dihadapi dengan
perlakuan yang baru.
Kode moral, dilihat dari perspektif postmodern, penuh dengan ambivalensi
dan kontradiksi-kontradiksi. Di antara aspekaspek kondisi moral dilihat dari
perspektif postmodern adalah sebagai berikut ini:
1.
Orang-orang
tidaklah baik ataupun jahat hanya “ambivalen secara moral....Tidak ada kode
etis yang melekat secara logis yang dapat ‘memperbaiki’ kondisi dari moralitas
yang secara esensial ambivalen” (Bauman, 1993:. 10).
2.
Fenomena
moral tidaklah teratur dan berulang-ulang. Sehingga dengan demikian, tidak ada
kode etis yang mungkin dapat menghadapi fenomena moral dalam sebuah kebiasaan
yang melelahkan.
3.
Moralitas
secara inheren mengandung kontradiksi-kontradiksi yang tidak dapat diatasi,
dengan konflik-konflik yang tidak dapat diselesaikan (dengan kebingungan]
aporia).
4.
Tidak
ada yang namanya moralitas universal.
5.
“Dari
perspektif ‘keteraturan rasional,’ moralitas terikat untuk tetap irasional”
(Dauman, 1993: 13).
6.
Karena
Bauman menolak sistem-sistem etika yang memaksa yang muncul dari rnasyarakat
secara keseluruhan, dia mengusulkan sebuah sistem etik yang muncul dari dirs.
Berdasarkan pada asumsi “ada untuk yang Lain sebelum seseorang dapat bersama
yang Lain” (Bauman, 1993: 13).
7.
Sementara
perspektif postmodern atas moralitas menolak bentuk moralitas yang modern,
dentuk moralitas yang menindas, is tidak menerima ide bahwa segala sesuatu
diperbolehkan, ide mengenai relativisme lengkap. Di antara ide-ide sentral pada
orientasi postmodern atas etika-etika adalah sebagai berikut:
a.
Dekonstruksi
atas “yang ‘tanpa kita akan banjir’ tuntutan atas n”gara-bangsa,
bangsa-Gang-sedang-dalam-pencarian-pada negara, komunitas tradisional dan
komunitas dalam pencarian pada sebuah tradisi, suku-suku dan neosuku, dan
juga para juru bicara dan para nabi mereka baik yang ditunjuk ataupun yang
mengajukan diri” (Bauman, 1993: 14-15).
b.
“Prospek
yang jauh (dan, jadilah, kaum utopia) atas emansipasi dari diri moral yang
otonom dan pemulihan atas tanggung jawab moralnya” ;Bauman, 1993: 15).
c.
“Sebuah
prospek atas diri moral yang menerima, tanpa digoda untuk melarikan diri,
ambivalensi yang inherendan tidak dapat disembuhkan di mana di dalamnya
tanggung jawab tersebut membentuknya dan sudah menjadi nasibnya, masih
menunggu untuk dibentuk kernbali dalam takdirnya” (Bauman, 1993: 13).
Dengan mengesampingkan ide-ide yang telah didiskusikan, baik Bauman
ataupun postmodernisme tidak dapat menawarkan sebuah kode etik yang
menggantikan kode etik modern yang telah dibongkar. Akibatnya, kita ditakdirkan
d.alam sebuah kehidupan yang penuh dengan dilema moral yang tak dapat diselesaikan.
Bauman (1995: 42) berpendapat bahwa sangat mungkin ini adalah akhir dari “era
etika yang mengantarkan era moralitas.” Artinya, tanpa sebuah kode etik yang
mendominasi segala hal, orang-orang dibiarkan dengan moralitas-moralitas individual
mereka. “Dalam hiruk-pikuk suara- suara moral....para individu dilemparkan
kembali pada subjektivitas mereka sebagai satu-satunya otoritas etika mutlak”
(Bauman, 1992: xxii). Jadi, tantangan bagi dunia postmodern adalah bagaimana
hidup secara moral dalam ketiadaan sebuah kode etik dan dalam kehadiran
sebuah rangkaian yang membingungkan dari moralitasmoralitas yang tampaknya
sama. Tanpa kode yang melingkupi semacam itu, kehidupan di dalam dunia
postmodern sepertinya tidak mungkin tumbuh dengan lebih mudah, meskipun paling
tidak ada kemungkinan bahwa kehidupan akan menjadi lebih bermoral dengan
pembongkaran kode etik yang menindas dan memaksa yang diasosiasikan dengan
modernitas. Pada akhirnya, Bauman mengasosiasikan kejahatan yang paling bengis
(misainya Holocaust) dengan kode etik modern. Paling sedikit, kita akan mampu
menghadapi persoalan-persoalan moral secara langsung tanpa
penyamaran-penyamaran dan bentuk-bentuk yang cacat yang datang dengan kode
etik modern (Bauman, 1995: 37).
Alih-alih kode-kode etik dari modernitas yang memaksa dan cacat, ada
harapan dalam kesadaran atas moral diri, khususnya kebut-uhannya until”(
menjadi bagi yang Lain. Yang Lain adalah tanggung jawab moral diri. Kekuasaan
(dan juga dengan kebebasan) termasuk dalam hubungan ink “Seseorang bertanggung
jawab pada seorang yang lebih lemah dari dirinya” (Bauman, 1995:64). Menjadi
bagi yang lain tidak menentukan baik ataupun jahat. Hal tersebut akan berhasil
baik dalam rangkaian hubungan itu. la akan berhasil baik dalam sebuah dunia
yang. tiada kepastian dan di mana tidak akan pernah ada pemisahan yang jelas
antara baik dan jahat.
Bauman menyimpulkan;
kita memiliki sedikit pilihan tapi untuk menempatkan taruhan kita pada
kesadaran tersebut yang, betapapun lemah, sendirian mampu menanamkan tanggung
jawab bagi ketidak patuhan dalam perintah untuk melaksanakan hal jahat.
Kebalikannya dengan satu dari aksioma-aksioma filosofis yang paling diterima
secara tidak kritis, tidak ada kontradiksi antara penolakan atas (atau
skeptisisme terhylap) etika-etika dari norma-norma yang secara sosial dikonyensionalkan
dan secara rasional “ditemukan”, dan desakan bahwa ini sebuah masalah, dan
masalah secara moral, apa yang kita lakukan dan apa yang menghentikan kita.
Jauh dari meniadakan antara satu dengan yang lain, dua-duanya dapat diterima
atau ditolak hanya bersamaan.
Jika ragu dengarkan kesadaranmu.
Tanggung jawab moral adalah milik manusia yang paling pribadi dan tidak dapat
dipisahkan, dan hak asasi manusia yang paling berharga.
Dengan cara ini, Bauman mengambil sebuah posisi postmodern tan pa
menyerah pada relativisme dan nihilisme. Meskipun begitu, ada ketegangan
fundamental antara kebutuhan mutlak untuk menjadi bagi yang lain dan “tak
berkelanjutan, fragmentasi, terepisode dalam konsekuensi-konsekuensi menghindari
kehidupan” yang Bauman asosiasikan dengan postmodernitas (Bauman, 1995: 268).
Dunia postmodern secara simultan adalah satu dari harapan moral yang
agung.dan kegelisahan pribadi yang agung: “Paradoks etis kondisi postmodern
adalah bahwa ia memulihkan pilihan moral agen dan tanggung jawab yang sangat
banyak sementara secara simultan merenggut mereka dari nyamannya pedoman
universal yang pernah ditawarkan dengan keyakinan-diri oleh modern” (Bauman,
1992: xxii). Atau dengan kata lain, moralitas, seperti segala sesuatu yang lain
dalam dunia postmodern, telah diprivatisasikan. Tanpa sistem etis yang lebih
luas untuk membimbing mereka, etika-etika bagi para individu menjadi masalah di
antaranya “keleluasaan individu, pengambilan-risiko, ketidakpastian kronis dan
kecemasan yang tidak pernah-ditenteramkan” (Bauman, 1992: xxiii).
Postmodernitas bisa menjadi “kutukan” ataupun “kesempatan” bagi kita (Bauman,1995:
8). Bahkan bisa lebih parah dari apa yang kita bicarakan hari ini.
DAVID HARVEY:
POSTMODERNISME DAN
MARXISME
Pencomotan David Harvey dalam teori kaum postmodernis dari perspektif
kaum Marxis (1989; Kamolnick, 1994) tidak hanya menutup Bab ini namun
mengantisipasi diskusi dari karya Fredric Jameson dalam Bab berikutnya. Runtuhnya
Uni Soviet, dan secara lebih umum komunisme, sangat mengancam segala jenis
teori sosial neo-Marxis (Callari, Cullenberg, dan Biewener, 1995). Pada saat
yang sama, postmodernisme, dengan penolakannya atas komponen sentral berbagai
teori neo-Marxis sebagai narasi besar, subjek revolusioner, kekuasaan
terpusat, dan kelas sosial, telah menciptakan serangkaian ancaman tambahan.
Tapi di sana juga ada kesempatan bagi para teoretisi Marxis, dan beberapa telah
melembaga dalam teori sosial postmodern sebagai sebuah orientasi teoretis yang
dipadukan dengan orientasi Marxis mereka. Dalam bagian ini, kita melihat
uraian singkat pada karya David Harvey, dan dalam Bab selanjutnya mengenai
intervensi orang Amerika kita membicarakan pendekatan Marxis dari Fredric
Jameson.
Meskipun Harvey melihat banyak hal yang baik dalam pemikiran postmodern,
dia melihat kelemahan serius dalarnnya dari sud’tt Pandang Marxis. Teori
postmodern dituduh menekankan secara berlebihan masalah-masalah dunia modern
dan penyepelean yang berlebihan atas pencapaian-pencapaiannya secara materi.
Yang paling penting, sepertinya ia menerima postmodernitas dan masalah-masalah
yang diasosiasikan dengannya daripada menyarankan berbagai jalan untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut: “Retorika dari postmodemisme sangat
berbahava karena ia menghindari konfrontasi dengan kenyataankenyataan ekonomi
politik dan kondisi-kondisi kekuasaan global” (Harvey, 1989: 117). Apa yang
dibutuhkan oleh teori postmodern untuk konfrontasi adalah sumber irdenya transformasi
politis dan ekonomi dalam kapitalisme akhir abad duapuluh.
Pusat dari sistem ekonomi politis adalah kontrol atas’pasar dan proses
kerja (dua arena ini melibatl:an isu akumulasi dalam kapitalisme). Sementara
periode pascaperang antara 1945 dan 1973 diasosiasikan dengan proses akumulasi
yang tidak fleksibel, sejak 1973 kita telah beranjak pada proses varrg lebih
fleksibel. Harvey mengasosiasikan periode Yang lebih awal dengan Fordisme
(sama halnya dengan ekonomi-ekonomi Keynesian) dan periode yang lebih akhir
dengan post-Fordisme. Jika Fordisme tidak fleksibel, Harvey melihat
post-Fordisme diasosiasikan dengan akumulasi fleksibel yang bersandar “pada
fleksibilitas yang menghargai proses-proses kerja, pasar-pasar
kerja,-hasi1-hasil produksi, dan pola-pola konsumsi. la diasosiasikan dengan kemunculan
keseluruhan sektor-sektor produksi baru, cara-cara baru menyediakan
pelayanan-pelavanan finansial, pasar-pasar baru, dan, di atas semuanya itu,
intensitas yang sangat besar dari inovasi komersial, teknologis, dan
organisasional” (1989: 147).
Ketika Harvey melihat perubahan-perubahan besar dan berpendapat bahwa
perubahan-perubahan itu terdapat di dasar pemikiran postmodern, dia percava
bahwa ada banyak Man jutan antara era Fordisme dan post-Fordisme. Kesimpulan
utamanya adalah ketika “secara pasti ada perubahan-besar dalam penampilan
luaran kapitalisme sejak 1973....logika yang mendasari akumulasi kapitalis dan
tendensi-tendensi krisis masih tetap sama” (Harvey, 1989: 189). Jadi, Harvey
menggunakan sudut pandang yang menyerupai, paling tidak untuk menghormati yang
belakangan, milik Jameson.
Pusat dari pendekatan Harvey adalah ide pemadatan waktu dan ruang. la
percaya bahwa modernisme memadatkan baik atas waktu maupun ruang dan proses
tersebut telah dipercepat di era postmodern, menuju pada “sebuah Ease intens
pemadatan waktu-ruang yang memiliki pengaruh disorientasi dan sangat
mengacaukan praktik-praktik politis-ekonomi, keseimbangan kekuasaan kelas, dan
juga kehidupan sosial dan budava” (Harvey, 1989: 284). Tapi ini secara esensial
bukan berbeda dengan epos-epos awal kapitalisme: “Kita telah, secara singkat,
menyaksikan satu lagi babak yang kejam dalam proses pemusnahan ruang melalui
waktu yang selalu ada di pusat dinamika kapitalisme” (Harvey, 1989: 293).
Untuk memberikan contoh dari pemusnahan ruang melalui waktu, keju pada mulanya
hanya tersedia di Perancis dan sekarang ini secara leas dijual di seluruh
Amerika Serikat karena transportasi yang cepat, ongkos-rendah. Atau, dalam
perang 1991 dengan Irak, televisi membawa kita secara instan dari serangan
udara di Baghdad hingga seranganserangan “scud” atas Tel Aviv hingga pertemuan
militer di Rivadh.
Jadi, bagi Harvey, postrnodernisme tidak diskontinuitas dengan
modernisme; mereka adalah cerminan dari adanya dinamika kapitalis yang sama.
Baik modernisme ataupun postmodernisme, Fordisme ataupun post Fordisme, hidup
berdampingan di dunia hari ini. Penekanan terhadap Fordisme dan postFordisme
akan “berbeda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat, bergantung pada
konfigurasi mana yang menguntungkan dan mana yang tidak” (Harvey, 1989: 344).
Sudut pandang semacam itu akan membawa persoalan postmodernRas di bawah pavung
teori neo-Marxis, meskipun itu, pada gilirannya, dimodifikasi oleh
perkembangan-perkembangan dalam pemikiran-pemikiran postmodern.
Akhirnya, Harvey melihat perubahan-perubahan dan celahcelah dalam
postrnodernitas, menunjukkan bahwa kita mungkin saja telah berpindah ke sebuah
era baru, sebuah era di mana teori neo-Marxis harus siap untuk diteorisasikan,
mungkin masih dengan berintegrasi dengan sistem-sistem ide yang lain.
KESIMPULAN
Bab ini berurusan dengan camper tangan lima teoretisi Eropa dalam
kepustakaan teori sosial postmodern. Kita memulainya dengan karya Anthony
Giddens tentang lokomotif modernitas. Sementara Giddens melihat kita berada
pada tahap akhir modernitas, ini masihlah modernitas sejauh yang ia perhatikan.
Tetapi, Giddens bertahan pada kemungkinan untuk bergerak ke arah sebuah
masyarakat postmodern. Yang harus diperhatikan di sini adalah, bagaimanapun,
pemikirannya mengenai modernitas sebagai sebuah lokomotif yang bergerak melalui
waktu dan ruang, dan juga idenya mengenai tiga proses modern yang
esensi—pemisahan, pembongkaran, dan retieksivitas. Meskipun ia melihat hal
positif yang dihasilkan oleh lokomotif modernitas, Giddens juga, sensitif
terhadap risiko-risiko yang diasosiasikan dengan hal ini. Giddens tidak hanya
berurusan dengan modernitas pada tingkatan makro namun juga pada tingkatan
mikro berkenaan dengan pengaruhnya pada identitas-diri dan hubungan-hubungan
intim.
Beck mengutip satu aspek dari kajian Giddens untuk menekankan tempat
yang berisiko dalam dunia modern. Sesungguhnya, menurut Beck, kita telah
berpindah dari modernitas klasik yang dicirikan dengan kesejahteraan dan bagaimana
membagikannya dengan rata ke dalam modernitas yang lebih maju di mana isu yang
menentukan adalah risiko dan bagaimana menghindari, atau menanggulanginya.
Habermas melihat modernitas sebagai sebuah proyek yang bell= selesai. Dia
menolak posisi postmodern karena dia masih memiliki keyakinan dalam proyek
modern. Alih-alih melompat ke beberapa alternatif postmodem, Habermas lebih
memilih untuk memperbolehkan modernitas melengkapi proyeknya dengan cara
menjadi lebi•h rasional baik pada dunia-kehidupan ataupun pada tingkatan-tingka
tan sistem. Kita juga,mencermati beberapa kupasan spesifik Habermas atas teori
sosial postmodern.
Zygutunt Bauman menawarkan pemisahan yang berguna antara intelektual
modern (para legislator) dan intelektual postmodern (para interpreter). Di
antara beberapa hal lainnya, para legislator mampu menawarkan
pernyataan-pernyataan kewenangan, sementara para interpreter secara umum
dibatasi dengan penerjemahan ide dari satu komunitas pada yang lain. Para
interpreter, dan secara lebih umum pikiran ataupun cara berpikir postmodern,
berada pada kejavaan, sementara para legislator dan pemikiran modern berada
pada kemunduran. Meskipun cara berpikir postmodern memiliki masalahnya
sendiri, paling tidak ia tidak menggiring kita ke Auschwitz dan patologipatologi
lain yang diasosiasikan dengan bentuk pemikiran modern.
Bauman tidak berselera dengan sosiologi postmodern karena hal ini akan,
di antara beberapa yang lain, menjadi nonrasional. Bagaimanapun, apa yang
Bauman pikir kita butuhkan adalah sosiologi atas postmodernitas. Artinya ia
ingin modem, sosiologi rasional untuk mencurahkan perhatiannya pada
konfigurasi sosial postmodern. Bagaimanapun, Bauman sepertinya memahami bahwa
kita sedang menyaksikan akhir dari sosiologi legislatif mendasar kemudian
digantikan oleh sosiologi yang lebih, refleksif, interpretif, ataupun
masuk-akal.
Dalam pandangan Bauman, postmodernitas mungkin menciptakan akhir dari
perang modern melawan ambivalensi; postmodernisme dipahami paling tidak
sebagian dengan peneriinaannya terhadap ambivalensi. Meskipun ada
kesempatan-kesempatan yang diasosiasikan dengan postmodernitas, ada juga bahava-bahaya
yang terkait dengannya (misalnya, keegoisan dari yang “mampu”), dan, memberikan
baginya ambiguitas yang rnelekat, kehidupan di dalaninya tentu saja tidak
mudah. Bauman juga mencermati politik-politik dan moralitas yang diasosiasikan
dengan postmodernitas. Secara politis, postmodernitas akan, di antara hal lain,
disifatkan dengan politik-politik lokal daripada oleh nasional. Secara etis,
postmodernitas akan dipahami dengan moralitas individu daripada sistem-sistem
etika vans; besar. Menurut Bauman, moralitas postmodern ini pasti didominasi
oleh sebuah kebutuhan dan tanggung jawab bagi yang lain.
David Harvey menawarkan sebuah pendekatan Marxis bagi dunia postmodern.
Ketika dia menyadari perubahan-perubahan dramatis yang terjadi tahun-tahun
belakangan ini, ia juga melihat keberlanjutan antara masyarakat modern dan
postmodern dalam sistem kapitalis yang mendominasi keduanya. Harvey terkenal
karena idenya tentang percepatan pemadatan wakturuang dalam dunia postmodern.
Dia juga melihat awal keretakan dalam postmodern yang memberikan kemungkinan
pembaharuan bagi teori Marxis.
CATATAN AKHIR:
1.
Ada nya penyuburan-silang yang jelas
disini dan di lain tempat antara teori modrn.
2.
Untuk pandanagan post modrn atas diri,
lihat Gergen (1991).
3.
Di sini ada kaitan nya yang sangat erat dengan
karya Foucault.
4.
Pandangan serupa meliputi analisis Ritzer
(1996a) tentang McDonaldisasi sebagai
sebuah sistem rasional secara formal yang
menghasil kan irasionalitas, sebagian karna praktik tidak manusiawi nya berada
dalam konflik dengan rasionalitas substansi atas mereka yang berkerja di dalam
nya, dan yang memamfaat kan sistem semacam itu.
5.
Lihat juga hebermas (1986), Keohane
(1993), Dan Rory (1984).
6.
Tentu saja, banyak kaum postmodernis
menentang dan takut memiliki pengaruh demikian.
7.
Meskipun sebagai mana yang kita akan
lihat, dia seperti nya berubah pikiran hal ini dalam karya berikut nya.
8.
Baum (1992:12) juga melihat modernitas
sebagai sebuah kecendrungan tersendiri (tapi berbeda).
9.
Meskipun, adalah meringan kan bahwa
sosiologi modrn juga dapat di gambar kan sebagai multi paradigma (Ritzer,
1975).
10.
Dan,
ini tidak terlalu berbeda dari paling tidak beberapa pandangan sosiologi modrn,
khusus nya Ritzer (1981) perihal kebutuhan akan paradigma sosiologi yang
integral untuk melengkapi paradigma-paradigma sosiologi yang ada.
11.
Salah
satu yang akan menjadi pusat perhatian dari sosiologi post modrn adalah
masyarakat konsumen yang dilihat Bauman sebagai pusat post modernisme.
12.
Ketidak dapat di ramal kan nya ini membawa
kesia-siaan atas kebergantungan sosiologi pada analisis statistik saat itu.
13.
Dalam hal ini Bauman (1992:103) memperlihat
kan bahwa ia mencoba memahami modernitas “ persoalan ekstensi yang terpisah”:
apa kah kondisi aktual’ yang berbeda, atau persepsi mereka.” Bagaimana pun,
dalam membahas kebudayaan, dan juga diskusi yang berikut nya tentang
masyarakat, Bauman seperti nya memang memusat kan perhatian pada isu-isu
eksistensial.
14.
Sebagaimana
kita lihat pada Bab 6, Baudrillard membicara kan berahi dalam cara yang sangat
berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar